ABDURRAHMAN BIN AUF RA



Abdurrahman bin Auf lahir 10 tahun sesudah tahun gajah. Ia masuk islam sesudah Abu Bakar dan termasuk dalam delapan orang yang pertama kali masuk islam.  Nama lengkapnya Abdurrahman bin Auf bin Harits bin Zuhrah. Beliau mengikuti seluruh peperangan bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam termasuk perang Badar. Beliau meninggal di Madinah dan dimakamkan di Baqi`.

Abdurrahman bin Auf terkenal sebagai pedagang yang ulung.  Setiap perniagaan yang ia lakukan, senantiasa menghasilkan keuntungan yang besar.  Namun ia juga dikenal dengan sifat kedermawanannya. Ketika Rasulullah SAW membutuhkan banyak dana untuk menghadapi tentara Rum dalam perang Tabuk, ‘Abdurrahman bin ‘Auf menjadi salah satu pelopor dalam menyumbangkan dana. Ia menyerahkan dua ratus uqiyah emas. Melihat hal itu, Umar bin Khathab berbisik kepada Rasulullah:”Agaknya Abdurrahman berdosa, dia tidak meninggalkan uang belanja sedikit pun untuk keluarganya.”

Maka, Rasulullah SAW bertanya kepada Abdurrahman:“Adakah engkau tinggalkan uang belanja untuk keluargamu?” Abdurrahman menjawab:“Ada, ya Rasulullah. Mereka saya tinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang saya sumbangkan.” “Berapa?” Tanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. ‘Abdurrahman radhiyallahu 'anhu menjawab: “Sebanyak rizki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah.” Subhanallah.

Sejak itu, rizki yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta'ala terus mengalir bagaikan aliran sungai yang deras. ‘Abdurrahman bin ‘Auf shallallahu 'alaihi wasallam kini telah menjadi orang terkaya di Madinah.
Suatu hari, iring-iringan kafilah dagang Abdurrahman bin Auf yang terdiri dari 700 ekor unta yang dimuati bahan pangan, sandang, dan barang-barang kebutuhan penduduk tiba di Madinah. Terdengar suara gemuruh dan hiruk-pikuk, ‘Aisyah RA bertanya kepada seseorang:“Suara apakah itu?”

Orang itu menjawab:“Iring-iringan kafilah dagang Abdurrahman.” ‘Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:“Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepada ‘Abdurrahman di dunia dan akhirat. Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda bahwa Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak.”

Orang itu langsung menemui ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan menceritakan apa yang didengarnya dari ‘Aisyah RA. Mendengar hal itu, ia pun bergegas menemui Aisyah RA:“Wahai Ummul Mukminin, apakah ibunda mendengar sendiri ucapan itu dari Rasulullah SAW?” “Ya,” jawab Aisyah RA.“Seandainya aku sanggup, aku ingin memasuki surga dengan berjalan. Sudilah ibu menyaksikan, kafilah ini dengan seluruh kendaraan dan muatannya kuserahkan untuk jihad fi sabilillah.”

Sejak mendengar bahwa dirinya dijamin masuk surga, semangat berinfak dan bersedekahnya makin meningkat. Tak kurang dari 40.000 dirham perak, 40.000 dirham emas, 500 ekor kuda perang,dan 1.500 ekor unta ia sumbangan untuk peruangan menegakkan panji-panji Islam di muka bumi. Mendengar hal itu, ‘Aisyah radhiyallahu 'anhu mendoakan:“Semoga Allah memberinya minum dengan air dari telaga Salsabil (nama sebuah telaga di surga).”

Menjelang akhir hayatnya, ‘Abdurrahman radhiyallahu 'anhu pernah disuguhi makanan oleh seseorang — padahal ia sedang berpuasa. Sambil melihat makanan itu, ia berkata:“Mush’ab bin Umair RA syahid di medan perang. Dia lebih baik daripada aku. Waktu dikafan, jika kepalanya ditutup, maka kakinya terbuka. Dan jika kakinya ditutup, kepalanya terbuka. Kemudian Allah melapangkan dunia ini bagi kita seluas-luasnya. Sungguh, saya amat takut kalau-kalau pahala untuk kita disegerakan Allah di dunia ini.” Setelah itu, ia menangis tersedu-sedu.

‘Abdurrahman bin ‘Auf RA wafat dengan membawa amalnya yang banyak. Saat pemakamannya, Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib RA berkata:“Anda telah mendapat rahmat (kasih sayang) Allah, dan anda telah berhasil menundukan kepalsuan dunia. Semoga Allah senantiasa merahmati anda. Amin.”

Sumber: al-sofwah.or.id (Biografi Ulama Ahli Sunnah terjemahan dari Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya. dengan sedikit editing. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)

ABU UBAIDAH BIN AL-JARRAH RA


Nama lengkapnya adalah Amir bin Abdullah bin al-Jarah bin Hilal al-Fahry al-Qursy, biasanya dipanggil dengan sebutan Abu Ubaidillah. Dia adalah salah satu sahabat Rosulullah Saw yang berasal dari kaum Quraisy. Lahir di Makkah dari sebuah keluarga yang terhormat. Abu Ubaidah adalah seorang yang berperawakan tinggi, kurus, dan tidak terlalu berisi. Jenggotnya tidak tebal. Orangnya pemurah dan sederhana. berwibawa, bermuka ceria, rendah diri dan sangat pemalu. Dia juga termasuk orang yang berani ketika dalam kesulitan. Meski seorang yang pemalu dia disenangi oleh semua orang yang melihatnya, sehingga siapapun yang mengikutinya akan merasa tenang.
Masuknya Abu Ubaidillah ke dalam ajaran Islam adalah berkat peran dari Abu Bakar Al-Shiddiq. Karena dia telah berteman dan mengenal sejak lama Abu Bakar, sehingga tidak sulit bagi Abu Ubaidillah untuk menerima ajakan Abu Bakar untuk mempercayai ajaran baru yang dibawa oleh Muhammad Saw. Sebagaimana sahabat yang lain, keislaman Abu Ubaidillah juga tidak lepas dari tantangan dan siksaan dari orang-orang kafir Quraisy. Meski dia berasal dari keluarga yang cukup terhormat di mata kaum Quraisy. Ayahnya sendiri sangat menentang keputusannya untuk meninggalkan ajaran nenek moyangnya. Dia terus menerus dibujuk oleh ayahnya untuk kembali kepada ajarannya semula, hingga ayah Abu Ubaidillah mempersempit ruang geraknya. Tetapi semua cobaan dapat dilalui dengan sabar dan tawakkal kepada Allah SWT.

Pada saat Rosulullah Saw menyuruh kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah dalam rangka menghindari berbagai tantangan dan siksaan dari kaum kafir Quraisy yang semakin berat, Abu Ubadillahpun turut serta dalam rombongan para sahabat untuk berhijrah. Abu Ubaidillah juga salah satu sahabat yang sangat aktif dalam mengikuti berbagai peperangan pada masa Rosulullah Saw, mulai perang badar, Uhud dan lain sebagainya. Dalam perang Badar dia berperang melawan ayahnya sendiri yang menjadi salah satu tentara dari pasukan kaum kafir. Sedangkan pada saat terjadi perang Uhud, ketika wajah Rosulullah terkena dua rantai besi hingga berdarah, dengan cepat Abu Ubaidillah berusaha mencabutnya dari wajah Rosulullah, dia mencabut dengan gigi sehingga dua giginya patah. Pada masa kholifah Abu Bakar al-Shiddiq, dia juga ikut dalam rombongan tentara melawan para murtaddin (orang-orang yang keluar dari agama Islam). Abu Ubadillah juga termasuk salah satu komandan tentara Islam yang diutus Abu Bakar dalam penaklukan Islam. Selama ikut dalam peperangan, beliau berhasil mentaklukan Damaskus, Hamsh, Antokia, Ladhakia, Hebron hingga seluruh Syam.

Abu Ubaidillah mendapat julukan Aminul Ummah (Orang yang dipercaya bagi kaumnya) dan Amirul Umaro (pemimpin para pemimpin) dari Rosulullah Saw. Julukan tersebut diberikan oleh Rosulullah Saw berkenaan dengan suatu peristiwa dimana pada suatu hari delegasi Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka, dan meminta kepada Nabi SAW agar mengutus bersama mereka orang yang mengajarkan kepada mereka al-Qur’an, Sunnah dan Islam, maka Nabi SAW mengatakan kepada mereka, “Aku benar-benar akan mengutus bersama kalian seorang pria yang sangat dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya.” Semua sahabat berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah SAW termasuk Umar bin Khattab. Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya. Setelah Rosulullah Saw melaksanakan sholat dzuhur bersama para sahabat, beliau menengok ke kanan dan ke kiri hingga pandangannya tertuju pada Abu Ubaidillah dan beliau meminta Abu Ubaidillah untuk pergi bersama mereka. Pada watku beliau Abu Ubaidillah berdiri, Rasulullah bersabda; “Inilah orang kepercayaan umat Islam.”
Setelah Rosulullah Saw wafat, para sahabat berkumpul pada hari Saqifah untuk memilih seorang kholifah. Pada saat itu Abu Bakar berkata: “Saya rela salah satu dari dua orang ini; Umar bin Khottob dan Abu ‘Ubaidah untuk memimpin Islam. Kemudian Umar bin Al-Khattab ra mengatakan kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah, “Hulurkan tanganmu! Agar saya baiat kamu, karena saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh dalam setiap kaum terdapat orang yang jujur. Orang yang jujur di kalangan umatku adalah Abu Ubaidah.’ Kemudian Abu Ubaidah menjawab, “Saya tidak mungkin berani mendahului orang yang dipercayai oleh Rasulullah SAW menjadi imam kita di waktu shalat (Saidina Abu Bakar as-Shiddiq ra), oleh sebab itu kita sayogyanya membuatnya jadi imam sepeninggalan Rasulullah SAW.” Akhirnya keputusan itu di terima oleh semua pihak dan akhirnya Abu Bakar di baiat menjadi khalifah.

Kepribadian dan keluhuran budi pekerti Abu Ubaidillah memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Rosulullah Saw pernah bersabda: “Sesungguhnya setiap umat memiliki orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidillah bin Al-Jarrah”. Ketika Umar bin Khattab sang khalifah hendak menghembuskan nafas terakhirnya, dia juga berkata: “Seandainya Abu Ubaidillah bin Al-Jarrah masih hidup, niscaya aku menunjuknya sebagai penggantiku. Jika Rabbku bertanya kepadaku tentang dia, maka aku jawab, ‘Aku telah menunjuk kepercayaan Allah dan kepercayaan RasulNya sebagai penggantiku.” Abdullah bin Mas’ud, salah satu sahabat Rosulullah Saw juga sangat bangga dengannya. Dia berkata: “Paman-pamanku yang paling setia sebagai sahabat Rasulullah saw. Cuma tiga orang. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah,”.
Abu Ubaidillah juga dikenal dengan kezuhudannya.Dalam satu kisah disebutkan ketika Abu Ubaidillah menjabat sebagai seorang gubernur Syam. Umar bin Khattab sang khalifah pada saat itu hendak berkunjung ke rumahnya. ” Hai Abu Ubaidah, bolehkah aku datang ke rumahmu?” tanya Umar. Jawab Abu Ubaidah, “Untuk apakah kau datang ke rumahku? Sesungguhnya aku takut kau tak kuasa menahan air matamu begitu mengetahui keadaanku nanti.” Namun Umar memaksa dan akhirnya Abu Ubaidahpun mengizinkan Umar berkunjung ke rumahnya. Ketika Umar bin Khattab sampai di rumah Abu Ubaidillah, dia sangat terkejut. Ia mendapati rumah Sang Gubernur Syam kosong melompong. Tidak ada perabotan sama sekali. Melihat hal tersebut, kemudian
Umar bertanya, “Hai Abu Ubaidah, di manakah penghidupanmu? Mengapa aku tidak melihat apa-apa selain sepotong kain lusuh dan sebuah piring besar itu, padahal kau seorang gubernur?”, “Adakah kau memiliki makanan?” tanya Umar lagi. Abu Ubaidah kemudian berdiri dari duduknya menuju ke sebuah ranjang dan memungut arang yang didalamnya. Umar pun meneteskan air mata melihat kondisi gubernurnya seperti itu. Abu Ubaidah pun berujar, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sudah kukatakan tadi bahwa kau ke sini hanya untuk menangis.” Umar berkata, “Ya Abu Ubaidah, banyak sekali di antara kita orang-orang yang tertipu oleh godaan dunia.”
Suatu ketika Umar mengirimi uang kepada Abu Ubaidah sejumlah empat ribu dinar. Orang yang diutus Umar melaporkan kepada Umar, “Abu Ubaidah membagi-bagi uang kirimanmu.” Kemudian Umar berkata, “Alhamdulillah, puji syukur kepada-Nya yang telah menjadikan seseorang dalam Islam yang memiliki sifat seperti dia.” Begitulah Abu Ubaidah. Hidup baginya adalah pilihan. Ia memilih zuhud dengan kekuasaan dan harta yang ada di dalam genggamannya. Baginya jabatan bukan aji mumpung buat memperkaya diri. Tapi, kesempatan untuk beramal lebih intensif guna meraih surga.
Ketika di negeri Syam sedang terjangkit wabah penyakit, Umar bin Khattab mengirim surat untuk memanggil Abu Ubaidah. Namun Abu Ubaidah menyatakan keberatannya sesuai dengan isi surat yang dikirimkannya kepada khalifah yang berbunyi, “Hai Amirul Mukminin! Sebenarnya saya tahu, kalau kamu memerlukan saya, akan tetapi seperti kamu ketahui saya sedang berada di tengah-tengah tentera Muslimin. Saya tidak ingin menyelamatkan diri sendiri dari musibah yang menimpa mereka dan saya tidak ingin berpisah dari mereka sampai Allah sendiri menetapkan keputusannya terhadap saya dan mereka. Oleh sebab itu, sesampainya surat saya ini, tolonglah saya dibebaskan dari rencana baginda dan izinkanlah saya tinggal di sini.”
Setelah Umar ra membaca surat itu, beliau menangis, sehingga para hadirin bertanya, “Apakah Abu Ubaidah sudah meninggal?” Umar menjawabnya, “Belum, akan tetapi kematiannya sudah di ambang pintu.”
Akhirnya Abu Ubaidah meninggal karena wabah penyakit tersebut. Menjelang kematian Abu Ubaidah ra, beliau memesankan kepada tenteranya, “Saya pesankan kepada kalian sebuah pesan. Jika kalian terima, kalian akan baik, ‘Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, puasalah di bulan Ramadhan, berdermalah, tunaikanlah ibadah haji dan umrah, saling nasihat menasihatilah kalian, sampaikanlah nasihat kepada pimpinan kalian, jangan suka menipunya, janganlah kalian terpesona dengan keduniaan, karena betapa pun seorang melakukan seribu upaya, beliau pasti akan menemukan kematiannya seperti saya ini. Sungguh Allah telah menetapkan kematian untuk setiap pribadi manusia, oleh sebab itu semua mereka pasti akan mati. Orang yang paling beruntung adalah orang yang paling taat kepada Allah dan paling banyak bekalnya untuk akhirat”. Kemudian beliau melihat kepada Muaz bin Jabal ra dan mengatakan, “Ya Muaz! Imamilah shalat mereka.” Setelah itu, Abu Ubaidah ra pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Sepeninggalan Abu Ubaidah, Muaz bin Jabal ra berpidato di hadapan kaum Muslimin yang berbunyi, “Hai sekalian kaum Muslimin! Kalian sudah dikejutkan dengan berita kematian seorang pahlawan, yang demi Allah saya tidak menemukan ada orang yang lebih baik hatinya, lebih jauh pandangannya, lebih suka terhadap hari kemudian dan sangat senang memberi nasihat kepada semua orang dari beliau. Oleh sebab itu kasihanilah beliau, semoga kamu akan dikasihani Allah.”
Pada saat Umar bin Khaththab RA mendengar kematian Abu Ubaidah, dia memejamkan kedua matanya dalam keadaan penuh dengan air mata. Air mata pun mengalir, lalu dia membuka kedua matanya dalam kepasrahan. Ia memo-honkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam keadaan air mata mengalir dari kedua matanya, air mata orang-orang shalih. Air mata mengalir karena kematian orang-orang yang shalih. Umar  bin Khaththab RA berkata, “Seandainya aku boleh berangan-angan, maka aku hanya mengangankan sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah”.

Begitulah sosok seorang zuhud dan bijak Abu Ubaidah. Dia dapat menjadi contoh teladan bagi para pemimpin bahwa menjadi pemimpin bukanlah jalan untuk memperkaya diri sendiri, tetapi seorang pemimpin hanyalah seorang pelayan dari masyarakat yang seharusnya bersikap wajar dan tidak berlebih-lebihan

SAID BIN ZAYD BIN AMRU RA


Nama lengkapnya adalah Said bin Zayd bin Amru bin Nufail Al Adawi. Dia adalah salah satu Rosulullah Saw yang berasal dari kaum Quraisy dan termasuk golongan kedalam golongan sepuluh sahabat yang dijanjikan akan masuk surga. Said dilahirkan di Makkah 22 tahun sebelum hijriyah dan sering kali dipanggil dengan sebutan Abul Awaar.
Said adalah putra Zaid seorang yang selama hidupnya selalu mencari kebenaran akan agama yang haq. Dia juga tidak mempercayai akan agama yang dianut oleh nenek moyangnya. Zaid juga dikenal sebagai penyelamat bayi perempuan pada masa jahiliyah, karena di masa itu mempunyai bayi perempuan dianggap sebuah aib besar yang dapat meruntuhkan kehormatan keluarga. Zaid menyelamatkan para bayi perempuan dengan mengangkatnya sebagai anak dan kemudian mengasuhnya.

Ketidakpercayaan Zaid terhadap ajaran nenek moyangnya dapat dibuktikan dalam sebuah peristiwa yakni; suatu hari Zaid bin Amr bin Nufail berdiri di tengah-tengah orang banyak yang berdesak-desakan menyaksikan kaum Quraisy berpesta merayakan salah satu hari besar mereka. Kaum pria memakai serban sundusi yang mahal, yang kelihatan seperti kerudung Yaman yang lebih mahal. Kaum wanita dan anak-anak berpakaian bagus warna menyala dan mengenakan perhiasan indah-indah. Hewan-hewan ternak pun dipakaikan bermacam-macam perhiasan dan ditarik orang-orang untuk disembelih di hadapan patung-patung yang mereka sembah.
Kemudian Zaid bersandar ke dinding Kabah dan berkata, “Hai kaum Quraisy! hewan itu diciptakan Allah. Dialah yang menurunkan hujan dari langit supaya hewan-hewan itu minum sepuas-puasnya. Dialah yang menumbuhkan rumput-rumputan supaya hewan – hewan itu makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian, kalian sembelih hewan-hewan itu tanpa menyebut nama Allah. Sungguh bodoh dan sesat kalian.”

Al-Khattab, ayah Umar bin Khottob, berdiri menghampiri Zaid, lalu ditamparnya Zaid. Kata Al-Khattab, “Kurang ajar kau! kami sudah sering mendengar kata-katamu yang kotor itu, namun kami biarkan saja. Kini kesabaran kami sudah habis!” Kemudian, dihasutnya orang-orang bodoh supaya menyakiti Zaid. Zaid benar-benar disakiti mereka dengan sungguh-sungguh sehingga dia terpaksa menyingkir dari kota Mekah ke Bukit Hira. Al-Khattab menyerahkan urusan Zaid kepada sekelompok pemuda Quraisy untuk menghalang-halanginya masuk kota. Karena itu, Zaid terpaksa pulang dengan sembunyi-sembunyi.
Dalam kisah lain disebutkan juga bahwa suatu hari Zaid bin Amr bin Nufail berkumpul ketika orang-orang Quraisy tengah bersama-sama dengan Waraqah bin Naufal. Abdullah bin Jahsy, Utsman bin Harits, dan Umaimah binti Abdul Muthallib, bibi Muhammad saw. Mereka berbicara tentang kepercayaan masyarakat Arab yang sudah jauh tersesat. Pada saat itu Zaid berkata, “Demi Allah! sesungguhnya Saudara-Saudara sudah maklum bahwa bangsa kita sudah tidak memiliki agama. Mereka sudah sesat dan menyeleweng dari agama Ibrahim yang lurus. Karena itu, marilah kita pelajari suatu agama yang dapat kita pegang jika Saudara-Saudara ingin beruntung.”
Keempat orang itu akhirnya pergi menemui pendeta-pendeta Yahudi, Nasrani, dan pemimpin-pemimpin agama lain untuk menyelidiki dan mempelajari agama Ibrahim yang murni. Waraqah bin Naufal akhirnya meyakini agama Nasrani sebagai agama yang dipegannya. Sementara Abdullah bin Jahsy dan Utsman bin Harits tidak menemukan apa-apa. Adapun Zaid bin Amr bin Nufail mengalami kisah tersendiri ketika sedang dalam pencarian agama tersebut. Zaid mempelajari agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi, keduanya ditinggalkannya karena dia tidak memperoleh sesuatu yang dapat menenteramkan hati dan menjawab kegelisahan-kegelisahannya. Kemudian Zaidpun berkelana ke berbagai pelosok mencari agama Ibrahim. Ketika dia sampai ke negeri Syam, dia diberitahu tentang seorang Rahib yang mengerti ilmu kitab. Kemudian dia mendatangi sang Rahib untuk menceritakan kepadanya tentang kegelisahannya tentang agama nenek moyangnya serta pengalamannya dalam mempelajari agama Yahudi dan Nasrani.
Mendengar cerita dari Zaid, kemudian sang Rahib tersebut berkata: “Saya tahu engkau sedang mencari agama Ibrahim, hai putra Mekah?”, Zaid pun menjawab: “Betul, itulah yang saya inginkan.” Kemudia sang Rahib berkata: “Anda mencari agama yang dewasa ini sudah tak mungkin lagi ditemukan. Tetapi, pulanglah Anda ke negeri Anda. Allah akan membangkitkan seorang nabi di tengah-tengah bangsa Anda untuk menyempurnakan agama Ibrahim. Bila Anda bertemu dengan dia, tetaplah Anda bersamanya.”

Mendengar keterangan dari rahib tersebut, akhirnya Zaid berhenti berkelana dan dia memutuskan untuk kembali ke Mekah menunggu nabi yang dijanjikan. Ketika Zaid sedang dalam perjalanan pulang. Allah mengutus Muhammad menjadi nabi dan rasul dengan agama yang hak. Tetapi, Zaid belum sempat bertemu dengan beliau, dia dihadang perampok-perampok Badui di tengah jalan dan terbunuh sebelum ia kembali ke Mekah. Waktu dia akan menghembuskan napasnya yang terakhir, Zaid menengadah ke langit dan berkata, “Wahai Allah, jika Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Sa’id diharamkan pula daripadanya.”
Do’a Zaid inipun dikabulkan oleh Allah. Putra kesayangannya Said akhirnya menjadi seorang muslim bahkan menjadi pelopor dari keislaman orang-orang Quraisy lainnya. Sebagai seseorang yang dididik dari keluarga yang tidak mempercayai tradisi agama nenek moyangnya, tentu membuat Said begitu mudah untuk menjadi muslim begitu dia mendengar Nabi Saw menyerukan dakwah kepada agama kebenaran. Karenanya Said termasuk golongan orang yang pertama-tama masuk Islam. Dia mempercayai ajaran baru yang di bawa oleh seorang utusan Allah Muhammad Saw di saat banyak orang masih  meragukannya. Masuknya Said kedalam Islam tidak lepas dari berbagai siksaan dari orang-orang kafir yang tidak rela kehilangan pengikut agama nenek moyangnya. Dia menyatakan dirinya sebagai seorang muslim bersama istrinya Fatimah binti Khattab, adik perempuan Umar bin Khattab, seorang pemuka Qurasiy yang pada saat itu sangat membenci ajaran baru yang dibawa oleh Muhammad. Said menjadi seorang muslim dalam usia 20 tahun. Dia tetap teguh dalam keimanannya ketika mengalami berbagai siksaan. Bahkan keteguhan Said bersama istrinya dalam meyakini ajaran agamanya telah meluluhkan hati Umar bin Khattab seorang yang mempunyai hati yang keras dan pada saat itu menjadi salah satu penghalang yang berat bagi dakwah Rosulullah Saw.

Said adalah seorang yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi kepentingan agamanya. Dia ikut serta dalam hijrah kaum muslimin baik hijrah ke negeri Habasya maupun hijrah ke Madinah. Dia juga selalu mengikuti peperangan pada masa Nabi Saw, kecuali perang Badar karena saat itu dia bersama Thalhah bin Ubaidillah mendapat tugas dari Rosulullah Saw untuk mengintai orang-orang Quraisy. Said juga ikut serta dalam salah satu perang terbesar dalam sejarah umat muslim yakni perang Yarmuk yang menggulingkan kekuasaan bangsa Romawi masa itu, dia juga mengikuti perang dalam menggulingkan kekuasaan Persia yang semuanya terjadi pada pemerintahan khalifah Umar bin Khattab. Said juga mengikuti perang dalam menaklukkan Damsyiq, bahkan Abu Ubaidah bin Jarrah mengangkat Sa’id bin Zaid menjadi wali di sana. Dialah wali kota pertama dari kaum muslimin setelah kota itu dikuasai.
Said juga seorang ahli ibadah yang doanya seringkali dikabulkan oleh Allah. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Bani Umayah, merebak suatu isu dalam waktu yang lama di kalangan penduduk Yatsrib terhadap Sa’id bin Zaid. Yakni, seorang wanita bernama Arwa binti uwais telah menuduh Sa’id bin Zaid merampas tanahnya dan menggabungkannya dengan tanah Said sendiri. Wanita tersebut menyebarkan tuduhannya itu kepada seluruh kaum muslimin, dan kemudian mengadukan perkaranya kepada Wali Kota Madinah, yang pada saat itu adalah Marwan bin Hakam. Marwan menerima pengaduan tersebut dan kemudian mengirimkan beberapa petugas kepada Sa’id untuk menanyakan perihal tuduhan wanita tersebut. Sahabat Rasulullah Saw ini merasa prihatin atas fitnah yang dituduhkan kepadanya itu.

Kemudian Sa’id berkata: “Dia menuduhku menzaliminya (meramapas tanahnya yang berbatasan dengan tanah saya). Bagaimana mungkin saya menzaliminya, padahal saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang mengambil tanah orang lain walaupun sejengkal, nanti di hari kiamat Allah memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya. Wahai Allah! dia menuduh saya menzaliminya. Seandainya tuduhan itu palsu, butakanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yang dipersengketakannya dengan saya. Buktikanlah kepada kaum muslimin sejelas-jelasnya bahwa tanah itu adalah hak saya dan bahwa saya tidak pernah menzaliminya.”

Tidak berapa lama kemudian, terjadi banjir yang belum pernah terjadi seperti itu sebelumnya. Maka, terbukalah tanda batas tanah Sa’id dan tanah Arwa yang mereka perselisihkan. Sehingga kaum muslimin memperoleh bukti bahwa Sa’idlah yang benar, sedangkan tuduhan wanita itu adalah palsu. Hanya sebulan sesudah peristiwa itu, wanita tersebut menjadi buta. Ketika dia berjalan meraba-raba di tanah yang dipersengketakannya, dia pun jatuh ke dalam sumur.
Begitulah sosok seorang Said bin Zaid, salah satu sahabat Rosulullah Saw yang dijanjikan akan masuk surga. Dia meninggal dalam usia 73 tahun di Madinah pada tahun 51 H

SAAD BIN ABI WAQQOSH RA


Nama sebenarnya adalah Saad bin Malik Az-Zuhri.  Lahir di kota Mekah berasal dari suku Quraisy.   Ia berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya dan sangat disayangi kedua orangtuanya, terutama ibunya. Meski berasal dari Makkah, ia sangat benci pada agamanya dan cara hidup yang dianut masyarakatnya. Ia terkenal sebagai pemuda yang serius dan cerdas dan membenci praktik penyembahan berhala yang membudaya di Makkah saat itu.

Saat Sa'ad  berusia 20 tahun, didatangi oleh abu Bakar yang mengajak untuk masuk Islam. Sa'ad sendiri memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah SAW secara tidak langsung. Ibu rasul, Aminah binti Wahhab berasal dari suku yang sama dengan Saad yaitu dari Bani Zuhrah. Karena itu Saad juga sering disebut sebagai Sa'ad of Zuhrah atau Sa'ad dari Zuhrah, untuk membedakannya dengan Sa'ad-Sa'ad lainnya.
Keislaman Saad mendapat tentangan keras terutama dari Ibunya yang mengancam akan bunuh diri. Selama beberapa hari, ibu Sa'ad menolak makan dan minum sehingga kurus dan lemah. Meski dibujuk dan dibawakan makanan, namun ibunya tetap menolak dan hanya bersedia makan jika Sa'ad kembali ke agama lamanya. Namun Sa'ad berkata bahwa meski ia memiliki kecintaan luar biasa pada sang ibu, namun kecintaannya pada Allah SWT dan Rasulullah SAW jauh lebih besar lagi.
Mendengar kekerasan hati Sa'ad, sang ibu akhirnya menyerah dan mau makan kembali. Fakta ini memberikan bukti kekuatan dan keteguhan iman Sa'ad bin Abi Waqqas. Di masa-masa awal sejarah Islam, kaum Muslim mengungsi ke bukit jika hendak menunaikan salat. Kaum Quraisy selalu mengalangi mereka beribadah.
Saat tengah salat, sekelompok kaum Quraisy mengganggu dengan saling melemparkan lelucon kasar. Karena kesal dan tidak tahan, Sa'ad bin Abi Waqqas yang memukul salah satu orang Quraisy dengan tulang unta sehingga melukainya. Ini menjadi darah pertama yang tumpah akibat konflik antara umat Islam dengan orang kafir. Konflik yang kemudian semakin hebat dan menjadi batu ujian keimanan dan kesabaran umat Islam.
Setelah peristiwa itu, Rasulullah meminta para sahabat agar lebih tenang dan bersabar menghadapi orang Quraisy seperti yang difirmankan Allah SWT dalam al-Qur'an Surah Al-Muzzammil ayat 10. Cukup lama kaum Muslim menahan diri. Baru beberapa dekade kemudian, umat Islam diperkenankan melakukan perlawanan fisik kepada para orang kafir. Di barisan pejuang Islam, nama Sa'ad bin Abi Waqqas menjadi salah satu tonggak utamanya.
Ia terlibat dalam Pertempuran Badar bersama saudaranya yang bernama Umair bin Abi Waqqas yang kemudian syahid bersama 13 pejuang Muslim lainnya. Pada Pertempuran Uhud, bersama Zaid, Sa'ad terpilih menjadi salah satu pasukan pemanah terbaik Islam. Saad berjuang dengan gigih dalam mempertahankan Rasulullah SAW setelah beberapa pejuang Muslim meninggalkan posisi mereka. Sa'ad juga menjadi sahabat dan pejuang Islam pertama yang tertembak panah dalam upaya mempertahankan Islam.
Sa'ad juga merupakan salah satu sahabat yang dikarunai kekayaan yang juga banyak digunakannya untuk kepentingan dakwah. Ia juga dikenal karena keberaniannya dan kedermawanan hatinya. Sa'ad hidup hingga usianya menjelang delapan puluh tahun. Menjelang wafatnya, Sa'ad meminta puteranya untuk mengafaninya dengan jubah yang ia gunakan dalam perang Badar. Kafani aku dengan jubah ini karena aku ingin bertemu Allah SWT dalam pakaian ini,ujarnya.

Memimpin Perang melawan Kekaisaran Persia
Penolakan kaisar Persia membuat air mata Sa'ad bercucuran. Berat baginya melakukan peperangan yang harus mengorbankan banyak nyawa kaum Muslim dan non Muslim.
Kepahlawanan Sa'ad bin Abi Waqqas tertulis dengan tinta emas saat memimpin pasukan Islam melawan melawan tentara Persia di Qadissyah. Peperangan ini merupakan salah satu peperangan terbesar umat Islam.
Bersama tiga ribu pasukannya, ia berangkat menuju Qadasiyyah. Di antara mereka terdapat sembilan veteran perang Badar, lebih dari 300 mereka yang ikut serta dalam ikrar Riffwan di Hudaibiyyah, dan 300 di antaranya mereka yang ikut serta dalam memerdekakan Makkah bersama Rasulullah. Lalu ada 700 orang putra para sahabat, dan ribuan wanita yang ikut serta sebagai perawat dan tenaga bantuan.
Pasukan ini berkemah di Qadisiyyah di dekat Hira. Untuk melawan pasukan Muslim, pasukan Persia yang siap tepur berjumlah 12O ribu orang dibawah panglima perang kenamaan mereka, Rustum.
Sebelum memulai peperangan, atas instruksi Umar bin Khattab yang menjadi khalifah saat itu, Sa'ad mengirim surat kepada kaisar Persia, Yazdagird dan Rustum, yang isinya undangan untuk masuk Islam. Delegasi Muslim yang pertama berangkat adalah An-Numan bin Muqarrin yang kemudian mendapat penghinaan dan menjadi bahan ejekan Yazdagird.
Untuk mengirim surat kepada Rustum, Sa'ad mengirim delegasi yang dipimpin Rubiy bin Aamir. Kepada Rubiy, Rustum menawarkan segala kemewahan duniawi. Namun ia tidak berpaling dari Islam dan menyatakan bahwa Allah SWT menjanjikan kemewahan lebih baik yaitu surga.
Para delegasi Muslim kembali setelah kedua pemimpin itu menolak tawaran masuk Islam. Melihat hal tersebut, air mata Sa'ad bercucuran karena ia terpaksa harus berperang yang berarti mengorbankan nyawa orang Muslim dan non Muslim.
Setelah itu, untuk beberapa hari ia terbaring sakit karena tidak kuat menanggung kepedihan jika perang harus terjadi. Sa'ad tahu pasti, bahwa peperangan ini akan menjadi peperangan yang sangat keras yang akan menumpahkan darah dan mengorbankan banyak nyawa.
Ketika tengah berpikir, Sa'ad akhirnya tahu bahwa ia tetap harus berjuang. Karena itu, meskipun terbaring sakit, Sa'ad segera bangkit dan menghadapi pasukannya. Di depan pasukan Muslim, Saad mengutip Alquran Surah Al-Anbiya' ayat 105 tentang bumi yang akan dipusakai oleh orang-orang shaleh seperti yang tertulis dalam kitab Zabur.
Setelah itu, Sa'ad berganti pakaian kemudian menunaikan salat Dzuhur bersama pasukannya. Setelah itu dengan membaca takbir, Sa'ad bersama pasukan Muslim memulai peperangan. Selama empat hari, peperangan berlangsung tanpa henti dan menimbulkan korban dua ribu Muslim dan sepuluh ribu orang Persia. Peperangan Qadisiyyah merupakan salah satu peperangan terbesar dalam sejarah dunia. Pasukan Muslim memenangi peperangan itu.
Sa'ad dipanggil oleh Allah pada tahun 54 H di pangkuan anaknya. Dan dikafankan dengan kain yang pernah dipakainya saat Perang Badar

Sumber : http://id.wikipedia.org